3.20.2009

MEMANDIRIKAN SISWA SMU-SMK LEWAT MODEL SKS

MEMANDIRIKAN SISWA SMU-SMK LEWAT MODEL SKS
JAWAPOS, 17 Desember 2004
Guru dan Prasarananya Harus Memadai
Menata kembali sistem belajar mengajar di jenjang pendidikan menengah kini menjadi perhatian pemerintah. Beragam program dirancang, salah satunya muncul ide untuk menerapkan sistem kredit semester (SKS) di tingkat SMU dan SMK.
SEPERTI di pendidikan tinggi, model SKS ini sebuah prakarsa yang mencuat dari implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pola baru ini pun diharapkan menjadi jawaban dari keinginan mandiri dan desentralisasi pendidikan.
Isyarat itu direspons Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Sebagai lembaga kebijakan pendidikan negeri ini, sinyal pemberlakukan sistem tersebut juga sudah disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo.
"Formula baru itu akan membuat pendidikan lebih terintegrasi. Di satu sisi, sistem ini memberi peluang yang besar bagi peserta didik untuk dapat menyelesaikan pendidikan sesuai kemampuan masing-masing. Di sisi lain, sistem tersebut juga dapat mengakomodasi mereka yang berasal dari pendidikan nonformal tetapi ingin melanjutkan ke pendidikan persekolahan," ungkap Bambang Sudibyo beberapa waktu lalu.
Terhadap rancang program tersebut, Depdiknas menyebutkan telah ada daerah yang melakukan uji coba. Yakni, di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah berjalan tiga semester di 17 SMU dan SMK. "Telah ada semacam percobaan di NTB untuk sistem kredit di sekolah menengah atas. Sejauh ini hasilnya bagus," kata Bambang.
Bahkan, kelebihan model SKS itu, guru dan siswa jadi lebih kreatif, disiplin, tahu kapasitas pribadinya, terpacu untuk mengembangkan kemampuannya. Bahkan, jika ada siswa yang sudah belajar tuntas dan lancar berbahasa Inggris, lalu pindah ke sekolah penyelenggara SKS, maka dia tidak perlu mengulang mata pelajaran sejenis, melainkan bisa diakreditasi.
Intinya, model SKS nantinya akan mempermudah transfer nilai dari pendidikan nonformal ke pendidikan formal. Bahkan, terbuka kemungkinan ada presentasi kredit yang dapat diambil di pendidikan nonformal. Sedangkan untuk menjaga mutu, setiap kompetensi perlu disertifikasi hingga di tingkat kabupaten/kota..
Sebagai sebuah impian, model SKS ini memang bisa menjadi harapan. Bagaimana pun pola pengajaran yang seragam seperti yang diberlakukan saat ini, sepertinya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan lagi.
Bayangkan saja, sistem pengelolaan kegiatan belajar di Indonesia ibarat teori baris-berbaris. Anggota regu punya gerak langkah dan ayunan yang sama, dilarang saling mendahului, sebab menyalip rekan bisa membubarkan barisan. Hal itu menjadi kurang demokratis karena tak memberi peluang bagi siswa yang pandai menyelesaikan sekolahnya lebih cepat. Sedang kawan sekelasnya yang lemah merasa dipaksa mempelajari materi yang relatif sulit ditembus. "Kalau melihat kondisi kemajemukan seperti ini, sistem SKS memang banyak kebaikannya," ujar Prof Dr Suyanto, PhD, Rektor Universitas Jogyakarta (UNJ)

Namun, model SKS tidak bisa sepenuhnya dijalankan di semua sekolah SMU. Alasan Suyanto, tidak semua sekolah memiliki SDM dan manajemen yang memadai. Sebab, memberlakukan sistem SKS berarti harus mempersiapkan seluruh infrastrukturnya, seperti jumlah guru, laboratorium, ruang kelas, dan lain-lain.
Tetapi, jika ada sekolah yang sudah mampu menyediakan prasarana dan sarananya dipersilahkan menerapkannya sendiri. Kondisi ini merupakan perwujudan dari semangat desentralisasi pendidikan. "Tapi, sekali lagi, pusat atau pemerintah jangan lagi membuat suatu kebijakan yang seragam," terang Suyanto.
Harus diakui, selama ini penerapan SKS di perguruan tinggi pun masih berada dalam taraf SKS-SKS-an, belum riil SKS seperti yang dipakai di luar negeri. "Di kita kan, masih memakai paket yang diberi bobot kredit saja. Ini belum benar," tandasnya.
Kritik yang sama juga pernah disampaikan mantan Mendiknas Prof H A. Malik Fadjar. Menurut dia, dibutuhkan kehati-hatian dalam penerapan program tersebut dengan memperhatikan segala aspek. Penerapan SKS membutuhkan perangkat manajemen dan landasan akademik.
"Sebuah mata pelajaran mempunyai makna, maka pembobotannya pun mempunyai makna. Bukan sekadar mengambil jumlahnya saja. Dia mempunyai keterkaitan yang panjang, termasuk sistem pembelajaran dan pemberian fasilitasnya," kata dia.
Sistem semesteran tersebut sebetulnya memberi ruang gerak. Sehingga harus dipahami secara filosofis, akademi dan teknis operasional. Karenanya perlu dipahami lewat sebuah proses yang matang. "Dalam pendidikan, jangan sampai membuat siswa mengalami pembisuan dan pemandulan, sehingga begitu keluar sekolah siswa tidak tahu apa-apa," tutur pakar pendidikan dari Muhammadiyah ini. (wda)

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa comentnya bro,,,,