4.29.2009

Desentralisasi Pendidikan di SLTP

Desentralisasi Pendidikan di SLTP

JAKARTA, reformasi di Indonesia sudah bergulir dari sistem sentralisasike sistem desentralisasi, yakni segala urusan di tingkat pusat dialihkan ke tingkat daerah. Segala urusan di tingkat daerah selanjutnya lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah yang mempunyai hak dan kewenangan di tingkat daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri dengan menggunakan perundang-undangan (Undang-Undang

Otonomi Daerah, 1999). Dengan berlakunya kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berarti berubahnya ciri-ciri pendidikan di tingkat daerah. Perbedaan tersebut akan memacu masing-masing daerah untuk berkompetisi. Di negara-negara yang sudah melaksanakan desentralisasi secara murni misalnya di Amerika Serikat dan Australia menunjukan bahwa pendidikan di tingkat daerah tetap berkaitan dengan konsep pendidikan yang dirancang oleh pemerintah federal hanya memberikan rambu-rambu atau konsep-konsep sesuai dengan kondisi masing-masing.

Desentralisasi pendidikan di setiap negara baik di tingkat wilayah maupun di tingkat lembaga tidak berarti segala urusan dilakukan oleh lembaga itu sendiri, melainkan masih tetap terkait dengan kegiatan pendidikan di pusat. Dengan demikian, tidak akan terjadi kesimpangsiuran arah pendidikan dalam suatu bangsa, hal ini memberi peluang perpecahan suatu bangsa (Pidarta, 2001). Dengan berhasilnya dua negara tersebut dalam melaksanakan desentralisasi secara murni, seyogyganya negara kita sekarang belajar dari pengalaman kedua negara tersebut walaupun masing-masing negara mempunyai tujuan nasional yang berbeda. Dengan demikian pelakasanaan desentralisasi di negara kita dapat menekan sekecil mungkin hambatan yang akan terjadi. Restrukturisasi perlu dilakukan oleh semua lembaga pendidikan. Restrukturisasi ini terutama berkenaan dengan manajemen dan kurikulum. Struktur manajemen sekolah yang pada mulanya menggunakan pendekatan bottom-up dengan segala konsekuensinya. Pendekatan top-down yang dulu digunakan telah menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang bergantung pada keputusan birokrasi sehingga sekolah kehilangan kemandirian,motivasi, dan inisiatif untuk memajukan sekolahnya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lain bottom-up yang kemudian oleh Ditjen Mandikdasmen (2000) dipopulerkan sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yakni pengkoordinasian dan penyesuaian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok untuk memenuhi kebutuhan sekolah dalam rangka melaksanakan kebijakan nasional. Dengan demikian tujuan dari MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) adalah bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan program tiga tahun. Tamatan SLTP diprogramkan melanjutkan sekolah menengah (SMU/SMK) bagi yang mampu, dan ke dunia kerja bagi yang tidak mampu. Senada dengan ini Mendikbud (1993) menyatakan bahwa pengembangan keterampilan dasar sebagai bekal peserta didik di tingkat SLTP yang akan terjun dalam kehidupan masyarakat dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian kurikulum SLTP hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga siswa tamatan SLTP telah memahaminya.
Seiringn dengan usia siswa SLTP, dengan kurikulum yang memiliki tujuan ganda, penunjang mata pelajaran muatan lokal (mulok) dengan fasilitas praktik di sekolah yang belum tersedia serta tidak diberlakukannya Pendidikan Sistem Ganda (PSG) merupakan tuntutan bagi mata pelajaran mulok sesuai dengan dunia kerja di daerahnya. Dengan demikian tamatan SLTP bagi yang tidak mampu melanjutkan sekolah telah memiliki bekal keterampilan dan siap memasuki dunia kerja di daerahnya. Kalau mata pelajaran mulok yang diberikan tidak sesuai dengan lapangan kerja di daerahnya akan berpeluang jumlah pengangguran semakin banyak, begitu juga jumlah urbanisasi.






Ditinjau dari segi manfaat, mata pelajaran muatan lokal diharapkan akan meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan setempat. Sementara itu Mahmud (1980) menjelaskan bahwa relevansi adalah kesesuaian pendidikan dengan keadaan individu, orang tua, masyarakat, dan negara yang sedang membangun. Pendapat tersebut dilontarkan berkaitan dengan adanya sinyalemen bahwa pendidikan kita sekarang ini dalam batas-batas tertentu kurang relevan dengan kebutuhan sosial. Sinyalemen ini seusai dengan pendapat Ardhana (1992) yang mengemukakan bahwa tampaknya pendidikan kita sekarang ini lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal daripada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai dan sikap, serta pembentukan kepribadian. Oleh karenanya, eksistensi muatan lokal dalam pendidikan kita tampaknya tidak dapat dilepaskan dari adanya isu relevansi di atas. Jika dikaitkan dengan kondisi geografis negara kita, kehadiran muatan lokal juga dapat dipandang sebagai kebutuhan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Senada dengan ini Moeljadi (1996) mengatakan sebagai negara kepulauan (arhipelago) maka kemajemukan merupakan ciri khas dalam penyelenggaraan kehidupan sosial negara kita. Implikasinya, lembaga pendidikan hendaknya mampu mengakomodasi potensi-potensi lokal untuk keperluan pembangunan baik lokal maupun nasional. Ada dua macam kendala penyebab mata pelajaran mulok tidak sesuai dengan keberadaan lapangan kerja di daerah setempat, yakni peran kepala sekolah sebagai kepemimpinan pendidikan dan peran guru mata pelajaran yang bertatap muka langsung dengan peserta didik.
Pertama, peran kepala sekolah. Kepala Sekolah cenderung lebih mengutamakan output siswa dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang baik. Menurutnya, tingginya NEM akan memberikan arti tersendiri, lebih-lebih di mata masyarakat. Masyarakat pun beranggapan bahwa kualitas pendidikan identik dengan hasil NEM. Jika perolehan NEM sekolah rendah maka masyarakat memvonis bahwa mutu pendidikan sekolah rendah. Untuk mendapatkan NEM yang baik kepala sekolah berani menggunakan cara menghalalkan mata pelajaran mulok dihilangkan/dihapus, utamanya pada kelas-kelas akhir (kelas III). Banyak kepala sekolah memberikan mata pelajaran mulok seenaknya sendiri untuk tujuan komersial, memberikan mata pelajaran mulok berupa keterampilan komputer misalnya, dengan cara mendatangkan komputer bekas dalam jumlah yang besar yaitu membeli dari kota dengan harga murah. Padahal kondisi sekolah daerah tidak mendukung bahkan bertentangan. Apabila kondisi sekolah seperti ini terus berjalan akan berakibat fatal terhadap siswa yang tidak mampu melanjutkan sekolah.
Kedua, peran guru. Pengangkatan dan penempatan guru baru sering tidak sesuai dengan jurusan/ijazahnya. Apalagi guru tersebut bertugas mengajar mata pelajaran mulok. Pembinaan pengembangan profesional guru terus dilakukan sesuai dengan tuntutan kemajuan perkembangan zaman karena guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan di sekolah. Sayangnya hingga sekarang, pembinaan profesional guru masih mengutamakan mata pelajaran ebtanas.
Pada akhirnya akan berpengaruh pada produk pendidikan terhadap peluang kerja. Sembilan tahun lalu, banyak guru keterampilan output D-I dan D-II berpeluang mengajar sesuai dengan ijazahnya, sekarang sulit ditemui guru-guru tersebut karean sudah melebur merubah status bukan guru keterampilan lagi. Guru-guru tersebut melanjutkan ke jenjang sarjana dengan jurusan yang mudah, yang cepat selesai, dan yang diakui; di berbagai perguruan tinggi swasta. Dampaknya di sekolah-sekolah kelebihan guru mata pelajaran dengan ijazah yang sama dan menuntut mengajar sesuai dengan kesarjanaannya, sedangkan tenaga pengajar mulok tidak ada (langka). Untuk mengatasinya kelangkaan guru-guru keterampilan di masing-masing sekolah, pemerintah daerah seyogyanya memprioritaskan pengangkatan guru baru jurusan keterampilan bekerjasama dengan LPTK.

Tamatan SLTP yang mampu di programkan untuk melanjutkan sekolah, sedangkan yang tidak mampu diprogramkan tersebut bisa berjalan, seyogyanya pelaksanaan ebtanas dihapus. Dengan dihapusnya ebtanas akan mengurangi beban pelaku pendidikan di sekolah untuk tidak kompetitif mengejar rangking hasil Ebtanas yang baik. Untuk mengukur hasil belajar secara nasional (Standarisasi evaluasi belajar) seyogyanya dilaksanakan seleksi penerimaan siswa baru (sipensiru) dengan menggunakan komputer yang pelaksanaannya di kabupaten-kabupaten masin-masing, pengawasan silang, dan kisi-kisi naskah soal dari pusat. Pelaksanaan sipensiru dengan menggunakan komputer akan memotivasi belajar siswa yang akan melanjutkan sekolah di samping memudahkan panitia penyelenggara terhadap pengendalian terjadinya ketidakpuasan peserta, orang tua calon siswa baru, dan masyarakat.





Kerjasama dengan masyarakat (stake holder), peran Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) yang anggotanya terdiri atas orang tua siswa dan berperan mencari solusi penunjang dana pendidikan. Peran tersebut di era desentralisasi tampaknya tidak layak untuk dipertahankan, yang tepat diganti dengan istilah Badan Kerjasama Sekolah dengan Masyarakat (BKSM) yang anggotanya terdiri atas orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan, antara lain, orang tua siswa, tokoh masyarakat, dan LSM yang berperan mencari solusi terhadap keberhasilan program sekolah dan terlibat langsung dalam proses belajar mengajar. Perekrutan anggota BKSM tersebut sebaiknya kepala sekolah dan stafnya menyusun instrumen/penilaian kebutuhan kemudian disebar pada orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap kemajuan pendidikan dan kemudian diundang dalam rapat tertentu untuk sosialisasi. (Penulis : Drs. Sukaryono, M.Pd Kepala Sekolah SLTPN 2 Jabung, Malang-Jawa Timur)

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa comentnya bro,,,,